Jangan Keliru! Inilah Penjelasan "Islam Rahmatan Lil ’Alamin" Menurut Ulama Mu'tabar

Islam Rahmatan Lil ’Alamin
Islam (Al-Islâm) adalah agama (dîn) yang mulia dan memuliakan manusia. Islam turun dari Zat Yang Maha Mulia, Allah SWT. Islam hadir dengan berbagai keunggulannya, sebagaimana ia pun tegak dengan berbagai karakteristiknya.
Namun, saat ini kita menemukan pendistorsian (tahrîf) atas nas-nas syariah sebagai dalih atas pemahaman sesat-menyesatkan, pengaburan ajaran Islam dengan istilah-istilah yang mengkotak-kotakan Islam dan penyimpangan makna di balik istilah yang disematkan pada Islam. Salah satunyasyubhat di balik ungkapan “Islam Rahmatan lil ’Alamin”.
Jokowi dalam siaran pers kampanye politiknya tahun 2014 mengatakan, “Saya, Jokowi, bagian dari Islam yang rahmatan lil alamin. Islam yang hidup berketurunan dan berkarya di negara RI yang memegang teguh UUD 45. Bhinneka Tunggal Ika adalah rahmat dari Tuhan.”
Jokowi pun mengatakan dirinya bukan bagian dari kelompok yang mengaku Islam yang punya tujuan mewujudkan negara Islam (Kompas.com, 24/5/2014).
Ketua GP Anshor, Nusron Wahid, juga mengatakan, “…Islam rahmatan lil ‘alamin, Islam yang toleran, yang mengakomodasi kebudayaan Nusantara.”
Nusron pun menjelaskan bahwa Islam Indonesia adalah salah satu bangunan fundamental terbentuknya NKRI. (Kompas.com, 12/6/2015).
Realitasnya, istilah ini sering dijadikan dalih penganut sepilis (sekularisme-pluralisme-liberalisme) dalam menyebarkan syubhat seakan Islam membenarkan paham kufur pluralisme, kebebasan beragama dan pengkotak-kotakan Islam. Muncullah istilah”Islam fundamental” atau “Islam radikal” yang mereka maknai sendiri secara zalim untuk menstigma negatif gerakan-gerakan Islam yang memperjuangkan penegakkan Islam. Istilah ini dijadikan dalih untuk mendistorsi dan mereduksi ajaran Islam serta menjegal perjuangannya. Ini pun menunjukkan standar ganda mereka yang toleran—dengan asas pluralismenya—terhadap kekufuran dan penganutnya, namun tidak toleran terhadap umat Islam yang memperjuangkan penerapan syariah Islam secara kaffah dalam kehidupan.
Penjelasan Ulama Mu’tabar
Allah SWT berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta (QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Dalam ayat di atas kata ar-rahmah adalah mashdar dari kata kerja rahima.1 Kata ini berkedudukan sebagai tujuan pengutusan Muhammad saw. (maf’ûl li ajlihi) atau sebagai keterangan (hâl) bahwa Muhammad saw. adalah ar-rahmah2 yang menguatkan kedudukan beliau (mubâlaghah)3.
Dalam konteks penggunaan istilah ini Ar-Raghib al-Ashfahani menguraikan bahwa ar-rahmah kadang berkonotasi al-riqqah (kelembutan) atau berkonotasi al-ihsân (kebajikan);4atau al-khayr (kebaikan) danan-ni’mah (kenikmatan).5Karena itu kata ini termasuk ke dalam lafal yang berserikat di dalamnya lebih dari satu makna (lafzh musytarak)6. Pemaknaannya ditentukan oleh indikasi lainnya.7
Makna ayat di atas diperjelas melalui firman-Nya:
وَمَا كُنْتَ تَرْجُو أَنْ يُلْقَىٰ إِلَيْكَ الْكِتَابُ إِلاَّ رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ
Tidaklah engkau mengharap al-Quran diturunkan kepada dirimu melainkan sebagai rahmat dari Tuhanmu(QS Al-Qashash [28]: 86).
Lihat pula QS Al-’Ankabût (29) ayat 51. Keduanya memperjelas: Tidaklah Allah mengutus Muhammad saw. kecuali sebagai rahmat bagi ciptaan-Nya dengan semua yang terkandung dalam al-Qur’an al-Karim ini,8yakni kebaikan yang terkandung dalam ajaran-ajaran-Nya. Para ulama mu’tabar pun menjelaskan ar-rahmat dalam ayat tersebut berkaitan dengan penerapan syariah Islam kâffah dalam kehidupan sebagai tuntutan akidah Islam yang diemban oleh Rasulullah saw.
Di antaranya adalah ulama Nusantara yang mendunia, Syaikh Nawawi al-Bantani(w. 1316 H). Ia menyatakan:
وماأرسلناك ياأشرف الخلق بالشرائع، إلاّرحمةللعالمين أي إلاّلأجل رحمتناللعالمين قاطبة في الدين والدنيا
Tidaklah Kami mengutus engkau, wahai sebaik-baiknya makhluk, dengan membawa ajaran-ajaran syariah-Nya, kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta, yakni agar menjadi rahmat Kami bagi alam semesta seluruhnya; bagi agama ini dan kehidupan dunia.9
Imam ’Izzuddin bin ’Abdissalam (w. 660 H) menafsirkan kata rahmat[an] dalam ayat ini sebagaihidâyat[an], yakni petunjuk,10 tentunya petunjuk dari risalah Islam yang diemban Nabi saw.
Sejalan dengan Imam al-Nasafi, Imam al-Baidhawi pun menegaskan bahwa beliau menjadi rahmat karena diutus dengan apa yang menjadi sebab kebahagiaan manusia dan kebaikan bagi kehidupan dunia dan tempat kembalinya kelak.11
Imam Al-Zamakhsyari (w. 538 H) menjelaskan bahwa Allah mengutus Rasulullah saw. sebagai rahmat bagi alam semesta karena ia datang dengan apa-apa yang akan membuat mereka bahagia jika mengikutinya.12
Imam Fakhruddin al-Razi (w. 606 H) pun menyatakan, rahmat tersebut mencakup kehidupan agama dan dunia. Mencakup agama karena beliau turun menyeru manusia ke jalan kebenaran dan pahala, mensyariatkan hukum-hukum dan membedakan antara halal dan haram. Yang mengambil manfaat (hakiki) dari rahmat ini adalah siapa saja yang kepentingannya mencari kebenaran semata, tidak bergantung pada taqlid buta, angkuh dan takabur, berdasarkan indikasi dalil13:
قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ وَالَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ فِي آذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى
Katakanlah, “Al-Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang beriman, sementara orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan.” (QS Fushshilat [41]: 44).
Mencakup kehidupan dunia karena manusia terhindar dari banyak kehinaan dan ditolong dengan keberkahan din-Nya ini.14
Inti penafsiran di atas kian menjadi jelas ketika kita memerhatikan firman-Nya:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
Kami telah menurunkan kepada kamu al-Kitab (al-Quran) sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi kaum Muslim (QS an-Nahl [16]: 89).
Frasa tibyân[an] li kulli syay-[in] bermakna: apa saja yang dibutuhkan oleh umat; mengetahui halal haram, pahala dan siksa, hukum-hukum serta dalil-dalil. Ini sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh ath-Thabari15, Imam ats-Tsa’labi16, Imam Abu Bakr al-Jazairi dan yang lainnya. Abu Bakar al-Jazairi menjelaskan kedudukan al-Quran sebagai hud[an], yakni petunjuk dari segala kesesatan; juga rahmat[an], yakni rahmat khususnya bagi mereka yang mengamalkan dan menerapkan al-Quran bagi diri sendiri dan di dalam kehidupan sehingga rahmat tersebut bersifat umum di antara mereka.17
Tak samar kewajiban menegakkan syariah Islam kâffah (totalitas) dalam QS al-Baqarah (2) ayat 208. Islam adalah rahmat bagi alam semesta dengan ajaran-ajarannya. Islam adalah rahmat dengan syariah shaum (QS al-Baqarah [2]: 183). Islam pun rahmat (kebaikan hakiki) dengan keseluruhan syariahnya: syariahqishash (QS al-Baqarah [2]: 178), syariah jihad (QS al-Baqarah [2]: 216). QS al-Anbiya’ [21]: 107) pun menjadi dalil kaidah syar’iyyah:
حَيْثُمَا يَكُوْنُ الشَّرْعُ تَكُوْنُ الْمَصْلَحَةُ
Di mana pun tegak syariah maka akan ada kemaslahatan.18
Dengan demikian penegakan seluruh ajaran Islam menjadi satu-kesatuan sistem kehidupan merupakan kebaikan hakiki bagi seluruh sendi kehidupan.
Sebaliknya, banyak dalil al-Quran dan as-Sunnah yang mengecam orang yang berpaling dari ajaran-Nya (QS Thaha [20]: 124) atau mengimani sebagian dan mengkufuri sebagian lainnya dari ajaran-Nya (QS al-Baqarah [2]: 285).
Kedua sisi ini tergambar pula dalam ayat ini:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu sehingga Kami menyiksa mereka karena perbuatan yang mereka lakukan (QS al-A’raf [7]: 96).
Lalu masih adakah celah mereduksi atau mengaburkan kewajiban penerapan Islam kâffah di balik ungkapan ’Islam Rahmat[an] lil ’Âlamîn’?
Khilafah dan Penegakan Syariah
Islam tak tegak sempurna kecuali dengan tegaknya Al-Khilâfah ’ala Minhâj al-Nubuwwah. Hal ini sebagaimana pujian khusus (qashr) dari Rasulullah saw.:
إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
Sesungguhnya Imam (Khalifah) itu laksana perisai; umat akan diperangi di belakangnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya (HR Muslim, Ahmad, dll).
Demikian pula sebagaimana kesaksian para ulama pewaris para Nabi saw. tentang Khilafah. Imam Hasan al-Bashri (w. 110 H) pun bertutur:
وَلَوْلاَ السُّلطَانُ َلأَكَلَ النَّاسُ بَعْضُهُمْ بَعْضاً
Andai tidak ada as-Sulthân (Imam/Khalifah) maka pasti manusia akan menzalimi satu sama lain.19
Bi fadhliLlâh, Islam pun menjadi mercusuar peradaban umat manusia selama rentang waktu +14 abad lamanya di bawah panji Khilafah hingga sampai di Nusantara. Khilafah adalah thariqah syar’iyyahmenegakkan syariah seluruhnya; memelihara jiwa, harta dan kehormatan umat di bawah kekuasaannya; menyebarkan risalah mulia ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad yang menjadi politik luar negerinya; menjadi simbol persatuan umat di bawah al-liwâ’ dan ar-râyah-nya. Pentingnya kedudukan Khilafah dan kewajiban menegakkannya tersirat dan tersurat dalam khazanah ilmu para ulama mazhab seluruhnya. Bahkan para Sahabat telah berijmak mendahulukan pengangkatan khalifah atas pemakaman jenazah semulia-mulia makhluk-Nya, Muhammad al-Mushthafa saw. Kita pun sejatinya sebagaimana dituturkan syair:
نبني كما كانت أوائلنا # تبني، ونفعل مثل ما فعلوا
Kami membangun sebagaimana generasi pendahulu kami membangun
Kami berbuat sebagaimana mereka telah berbuat.
Dengan demikian kian terang-benderang bahwa rahmat[an] lil ’âlamîn adalah buah tegaknya syariah Islam secara kâffah dalam kehidupan yang tegak sempurna dalam naungan al-Khilâfah ’ala Minhâj al-Nubuwwah, bukan selainnya yang memecah-belah kaum Muslim dan merampas kemuliaannya. Benarlah Umar bin al-Khaththab ra. yang berkata:
إِنَّاقَوْمٌ أَعَزَّنَااللَّهُ بِاْلإِسْلاَمِ فَلَنْ نَبْتَغِيَ الْعِزَّةَبِغَيْرِهِ
Kami adalah kaum yang Allah muliakan dengan Islam sehingga kami tak akan pernah mencari kemuliaan dengan selainnya.20
WalLahu a’lam[Irfan Abu Naveed]

Syabab HTI Sukabumi, Mudir Ma’had al-Mu’tashim Billah & Staff Kulliyyatusy Syari’ah.
Catatan kaki:
1         Abu Manshur Muhammad bin Ahmad, Tahdzîb al-Lughah, Beirut; Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabiy, Cet.I, 2001, (V/34)
2         Abu al-Baqa’ al-‘Akbari, At-Tibyân fî I’râb al-Qur’ân, Syirkatu ‘Isa al-Halb, (II/929)
3         Abul ‘Abbas Syihabuddin al-Halabi, Ad-Durr al-Mashûn fî ‘Ulûm al-Kitâb al-Maknûn, Damaskus: Dâr al-Qalam (VIII/214)
4         Ar-Râghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Maktabah Nazâr Mushthafa al-Bâz, (I/253-254)
5         Lihat QS. Yûnus [10]: 21; Ibrahim Mushthafa, dkk, Al-Mu’jam al-Wasîth, Dâr al-Da’wah, (I/335)
6         Abdul Halim Muhammad Qunabis, Mu’jam al-Alfâzh al-Musytarakah fî al-Lughah al-‘Arabiyyah, Beirut: Maktabah Lubnân,1986, (hlm. 55).
7         Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, dkk, Mu’jam Lughatil Fuqahâ’, Beirut: Dâr an-Nafâ’is, Cet.II, 1988, (I/430).
8         Muhammad al-Amin a-Syanqithi, Adhwâ’ al-Bayân,Dâr ‘Âlam al-Fawâ’id,(IV/869)
9         Muhammad bin ‘Umar Nawawi, Marâh Labîd li Kasyf Ma’nâ al-Qur’ân al-Majîd, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. I, 1417 H, (II/62)
10        Izzuddin bin ‘Abdissalam, Tafsîr al-Qur’ân, Beirut: Dâr Ibn Hazm, Cet.I, 1996, (II/341)
11        Nashiruddin al-Baydhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts, Cet.I, 1418 H, (IV/62).
12        Abul Qasim al-Zamakhsyari, Al-Kasyâf, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, Cet. III, 1407 H, (III/138)
13        Muhammad bin ‘Umar al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts, Cet.III, 1420 H, (XXII/193).
14        Ibid.
15        Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, (XVII/278).
16        Ahmad al-Tsa’labi, Al-Kasyf wa al-Bayân, Beirut: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, Cet. I, 1422 H, (VI/37).
17        Jabir bin Musa Abu Bakr Al-Jaza’iri, Aysar at-Tafâsîr, Madinah: Maktabah al-‘Ulûm, Cet. V, 1424 H, (III/138-139).
18        Ahmad al-Mahmud, Ad-Da’wah ila al-Islâm (I/255); Muhammad Isma’il, Al-Fikr al-Islâmiy (I/48).
19        Abu al-Faraj Ibn al-Jawzi, Âdâb al-Hasan al-Bashri, Dâr al-Nawâdir, Cet. III, 1428 H, (I/58).
20        Abu Abdullah al-Hakim, Al-Mustadrak, Kairo: Dar al-Haramain, 1417 H, (I/120)


EmoticonEmoticon