Kisah Mengharukan Sahabat Umar: Tiada Kemuliaan Kecuali dengan Islam



Di tanah kelahiran Isa Al Masih, Abu Ubaidah bin Al Jarrah yang bersanding dengan Pedang Allah – Khalid bin Walid, kini telah berada di atas angin. Gemerlap Baitul Maqdis tunduk menyerah dengan suka rela setelah pertempuran beberapa waktu lamanya. Patriarch Sophronius uskup teragung Yerusalem mulai membuka lisannya. “Akan tetapi kunci kota hanya sudi kami serahkan langsung ke tangan pemimpin kalian, Amirul Mukminin, amirnya orang-orang beriman.”

Telah sampai kabar itu kepada Umar bin Khattab radhiallahu 'anhu. Ditemani seorang budaknya maka ia bergegas mengendarai unta putihnya meninggalkan Madinah. Tiada kemewahan dan pengawalan. Hanya balutan pakaian lusuh penuh tambalan, baju keseharian yang biasa ia kenakan. Nyaris tak ada beda antara majikan dengan pelayan. Satu unta, dua pengendara.

Perjalanan jauh nan melelahkan. Terik terhambur, debu bertebaran. Surat Yasin yang tak henti membasahi bibirnya, bak penyegar di tengah terpaan terik gurun nan membakar. Sehabisnya, posisi wajib bergantian. Penuntun jadi penunggang, penunggang jadi penuntun, betapa indah.

Hingga tampak di hadapan Umar megahnya Yerusalem. Getir ia berujar, “Katakanlah (Hai Muhammad): Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. Ali Imran: 26)

Sorak-sorai kaum muslimin menyambut kedatangan Umar bin Khattab, membuat penduduk Yerusalem menelisik lebih seksama. Yang mereka dapati hanya dua musafir yang kotor dan satu ekor unta. Belum habis keheranan itu, dua orang itu pun sampai di hadapan mereka. Mereka sambut dengan takzim si pengendara, menunduk hormat kepadanya.

“Angkat kepala kalian. Sesungguhnya kalian tidak perlu menunduk dan memuja kecuali hanya kepada Allah!”, sahut sang penuntun memecah. Terperanjat warga dan pembesar Yerusalem mendengar kalimat itu. Namun mereka juga tersipu malu saat menyadari bahwa ternyata pemimpinnya, Umar bin Khattab, penguasa tiga benua itu, adalah sosok sederhana penuntun untanya, bukan yang mengendara. Mereka kagum bukan kepalang, kian ingin menghormat andai tak Umar larang.

Wajah Umar memerah, dia pun tampak geram. Bukan karena salahnya sambutan. Akan tetapi matanya tertuju kepada barisan kaum muslimin yang kini tampak mewah dengan kain wol. Gagah dengan harta. Kian elegan, kian indah, kian menawan di mata manusia.

“Dunia rupanya telah mengubah kalian”, Umar menggeleng. “Bukan ini…bukan ini...bukan disini letak kemuliaan!”, sambungnya. “Akan tetapi ketahuilah…”

Simak, Umar memberikan pelajaran berharga bagi mereka, bagi kita, dan bagi generasi Islam berikutnya.

“Sesungguhnya kita dahulu adalah kaum yang hina, kemudian Allah muliakan dengan Islam. Maka jika kita mencari kemulian selain daripadanya, niscaya Allah akan kembali menghinakan kita”

(erka/erteka)


EmoticonEmoticon