Oleh Choirul Anam
Banyak
yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin, karena itu yang terpenting dalam Islam adalah
mengimplementasikan kerahmatan Islam, yaitu menciptakan kedamaian dan
keharmonisan di tengah-tengah masyarakat, dan umat Islam tidak perlu terjebak
pada hingar bingar formalitas, seperti perjuangan penerapan syariah Islam atau
Khilafah Islam. Lalu mereka menguatkan pendapatnya dengan mengutip firman Allah
swt. dalam Surat al-Anbiya ayat 107, “Dan
tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.
Menurutnya,
Islam akan menebarkan rahmat untuk alam semesta jika umat Islam menciptakan
hidup yang penuh dengan kedamaian, toleransi, bersikap moderat, menjaga
kerukunan antar umat beragama, tidak merasa benar sendiri, menjauhi hal-hal
yang dapat menimbulkan konflik seperti keinginan untuk memformalisasikan syariah
Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Menurutnya, berlaku
semena-mena, itu bukan mencerminkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Perbuatan ini sangat dibenci oleh Islam.
Jangankan kepada manusia, yang memang telah ditakdirkan ada yang muslim dan ada
yang non-Muslim, berlaku semena-mena kepada binatang saja dilarang dengan tegas
oleh Islam. Lalu mereka mengutip hadits nabi: “Siapa yang dengan sewenang-wenang membunuh burung, atau hewan lain yang
lebih kecil darinya, maka Allah akan meminta pertanggungjawaban kepadanya”
(HR. Al Hakim). Sungguh begitu indahnya Islam itu, bukan? Dengan hewan saja
tidak boleh sewenang-wenang, apalagi dengan manusia. Bayangkan jika manusia
memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam, maka akan sungguh indah dan
damainya dunia ini.
*****
Jika
diteliti dengan jujur dan cermat, pernyataan di atas sebagiannya memang benar
adanya, tetapi sebagian yang lain hanya ilusi akal manusia yang betentangan
dengan Islam itu sendiri. Namun, sayangnya pernyataan tersebut dibungkus dalam
satu wadah, sehingga seakan-akan pernyataan tersebut merupakan satu kesatuan pemahaman
yang
utuh. Karena itu, banyak sekali orang yang terpesona dengan pernyataan
tersebut. Lalu, banyak orang yang ikut-ikutan mempromosikan, tanpa memahami
hakikat yang sebenarnya.
Memang
benar 100%, bahwa Islam adalah ajaran dari Allah swt dan sebagai rahmat lil alamin. Namun demikian,
benarkah ayat ini harus ditafsirkan bahwa umat Islam harus menjauhi dan
meninggalkan penerapan syariah Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara atau Khilafah? Berikut ini akan dipaparkan penafsiran ayat tersebut,
yaitu bahwa Islam merupakan rahmat bagi seluruh alam, oleh para ahli tafsir
yang mu’tabar.
Syeikh Muhammad Ali As Shabuniy dalam tafsirnya Shafwatut Tafaasiir Juz
II/253 saat menafsirkan surat Al-Anbiya ayat 107, beliau menyatakan: bahwa
Allah swt tidaklah mengutus Nabi Muhammad saw. melainkan sebagai rahmat bagi
seluruh makhluk-Nya. Dalam suatu hadits yang diriwayatkan Ibnu Asakir,
dikatakan bahwa Nabi saw bersabda: ”Sesungguhnya aku hanyalah rahmat dan
petunjuk”. Dalam ayat tersebut Allah swt. tidak mengatakan rahmatan lil mukminin, tetapi rahmatan lil alamin, karena Allah swt
menyayangi seluruh makhluk-Nya. Artinya, diutusnya Rasulullah saw. adalah
membawa kepada mereka kebahagiaan yang besar dan keselamatan dari puncak
kesengsaraan. Seluruh manusia dapat mengambil darinya kebaikan yang banyak,
kebaikan dunia maupun kebaikan akhirat. Karena Rasulullah saw. mengajarkan
kepada mereka ilmu setelah kebodohan mereka dan memberikan petunjuk setelah
kesesatan mereka. Maka beliau merupakan rahmat bagi seluruh alam. Bahkan
orang-orang yang kafir terhadap kerasulan beliau pun masih mendapatkan rahmat
karena diakhirkan adzab buat mereka, tidak seperti kaum terdahulu yang selalu
kontan disiksa manakala tidak menerima petunjuk dan peringatan Rasul mereka.
Sedangkan
Imam Ibnu Katsir, menjelaskan arti “rahmatan lil alamin”, dalam surat
Al-Anbiya 107, sebagai berikut: Di sini Allah swt berfirman kepada kita bahwa
Dia telah menciptakan Muhammad saw. sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan
lil ‘alamin). Artinya, Dia mengirimnya sebagai rahmat untuk semua orang.
Barangsiapa menerima rahmat ini dan berterima kasih atas berkah ini, dia akan
bahagia di dunia dan akhirat. Namun, barangsiapa menolak dan mengingkarinya,
dunia dan akhirat akan lepas darinya, seperti yang Allah swt sampaikan: “Tidakkah
kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah (perintah-perintah
dan ajaran-ajaran Allah) dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah
kebinasaan? Yaitu neraka jahannam; mereka masuk kedalamnya; dan itulah seburuk-buruk
tempat kediaman.” (QS. Ibrahim:28-29). Dan Allah juga befirman dalam Al
Qur’an: “Katakanlah: “Al Quraan itu adalah petunjuk dan penawar bagi
orang-orang mukmin. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada
sumbatan, sedang Al Quraan itu suatu kegelapan bagi mereka (tidak memberi
petunjuk bagi mereka). Mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat
yang jauh.” (QS. Fushshilat:44)
Imam Muslim
meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya: Ibnu Abi‚ Umar telah menceritakan ke kami,
Marwan Al-Fayari menceritakan ke kami, dari Yazid bin Kisan, dari Ibnu Abi
Hazim bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berkata, bahwa telah dikatakan, “Wahai Rasulullah, berdoalah menentang kaum
Musyrikin.” Beliau berkata:“Saya tidak dikirim sebagai kutukan, melainkan
sebagai rahmat.” (HR. Muslim)
Imam
Ahmad meriwayatkan bahwa ‘Amr bin Abi Qurrah Al-Kindi berkata: “Hudzaifah
Radhiyallahu ‘Anhu ada di Al Mada’in. Hudzaifah datang ke Salman Radhiyallahu
‘Anhu dan Salman berkata: ‘Ya Hudzaifah, Rasulullah Ssaw. kadang-kadang
marah dan berbicara dalam kondisi demikian, dan kadang-kadang senang dan
berbicara dalam kondisi demikian. Saya tahu bahwa Rasulullah saw. telah
menyapa kami dan berkata: “Sebagian umatku telah aku cerca atau aku maki
ketika aku marah, karena aku adalah salah seorang dari keturunan Adam, dan aku
bisa menjadi marah seperti dirimu. Tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
mengirimku sebagai rahmat untuk seluruh alam, sehingga aku akan membuat itu
(marahku) sebagai berkah buatnya di hari kebangkitan.” (HR. Ahmad)
Kisah ini
juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ahmad bin Yunus, dari Ya’idah. Ditanyakan:
Apa bentuk rahmat yang diperoleh bagi mereka yang kafir terhadap beliau saw?.
Jawabannya adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Ja’far, dari Ibn ‘Abbas mengenai
ayat ini: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya
107). Dia berkata, “Barangsiapa
beriman kepada Allah dan Hari Akhir, rahmat akan ditetapkan atasnya di dunia
ini dan akhirat. Barangsiapa tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, akan
dilindungi dari apa yang telah menimpa bangsa-bangsa terdahulu (kemusnahan),
seperti gempa bumi dan hujan batu.”
*****
Dari
penjelasan para ahli tafsir tersebut, tampak bahwa makna yang sebenarnya dari pernyataan
“Islam sebagai rahmat bagi alam” sangat
jelas. Dengan melihat penjelasan para ahli tafsir yang terpercaya tersebut,
tidak mengandung arti sedikit pun bahwa Islam rahmatan lil ‘alamin itu dapat diartikan bahwa tidak perlu
menerapkan syariah Islam secara formal dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara atau Khilafah. Kesimpulan ini merupakan kesimpulan yang sama sekali
tidak ada korelasinya dengan pernyataan “Islam sebagai rahmat bagi seluruh
alam”.
Bahkan, kesimpulan
ini seperti kesimpulan orang yang melihat ayam bakar yang sangat enak, lalu
tidak ada angin dan tidak ada hujan, tiba-tiba ia menyimpulkan bahwa “Karena ayam bakar itu enak sekali, maka kita
tidak perlu makan ayam bakar. Diambil substansinya saja”. Apakah ada
hubungan antara pernyataan dan kesimpulannya?
Jika
memang Islam itu rahmatan lil alamin
yang akan membawa kebaikan bagi alam, dan seluruh manusia baik muslim dan non
muslim, juga hewan dan mahkluk-makhluk lain, seharusnya Islam itu diterapkan
dalam semua aspek kehidupan, sehingga kerahmatan itu benar-benar terealisasi.
Islam perlu diterapkan dalam kehidupan individual, sehingga kehidupan individu
tersebut dipenuhi dengan rahmat. Islam perlu diterapkan dalam kehidupan
keluarga, sehingga keluarga tersebut dipenuhi dengan rahmat. Islam juga perlu
diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sehingga masyarakat dan
negara tersebut dipenuhi dengan rahmat. Bukankah demikian? Bukankah sesuatu
yang baik, seharusnya diterapkan, bukan malah ditentang? Jika demikian, apa
artinya mengatakan Islam itu ramhat, tetapi justru penerapannya ditentang?
Namun,
dalam hal ini, sepertinya banyak yang agak kurang konsisten. Banyak orang yang
mengatakan Islam itu rahmatan lil alamin,
tetapi begitu khawatir kalau Islam diterapkan. Sebenarnya, sadar atau tidak, mereka
telah mengkhayalkan bahwa saat syariah Islam dan Khilafah jika diterapkan akan
membawa bencana dan malapetaka yang tak terperikan. Mereka begitu ketakutan,
bahwa Islam tidak akan bisa mengayomi masyarakat, terutama warga non muslim. Mereka
sangat meragukan kemampuan Islam dalam memberikan kebahagiaan, ketentraman dan
kemajuan bagi masyarakat yang plural, multi-etnik dan multi-agama. Bukan hanya
itu, lalu mereka memposisikan diri di garda terdepan dalam menghalangi
perjuangan penegakan syariah dan Khilafah. Ada apa ini sebenarnya?
Itu dari
satu sisi. Sementara pada sisi yang lain, ayat
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu,
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” tidak ada hubungannya
dengan toleransi atau kerukunan hidup beragama. Sebab, tentang kerukunan dan
toleransi, sungguh Islam telah menjelaskan dengan sangat detil dalam syariah
Islam, tetapi bukan dengan ayat ini. Islam memang mendorong umat Islam untuk
berdakwah kepada non-Muslim agar mereka memeluk Islam, sebab dipahami dakwah
ini adalah bentuk kecintaan yang sangat mendalam kepada sesama manusia,
sehingga manusia bisa terlepas dari adzab Allah di akhirat nanti. Namun, dakwah
ini memang tidak boleh dilakukan dengan paksaan. Dalam hal ini Allah berfirman:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
(Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
Oleh karena itu, siapasaja yang
mengingkari thâghût dan mengimani Allah, sesungguhnya ia telah berpegang pada
tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (QS al-Baqarah [2]: 256).
Saat
syariah Islam diterapkan oleh Khilafah, warga non-Muslim dinamakan sebagai ahlu dzimmah. Mereka memiliki hak dan
kewajiban yang sama dengan warga negara yang lain. Meski memang ada
kewajiban-kewajiban yang spesifik, sebagai konsekuensi dari perbedaan agama
ini. Misalnya jihad hanya wajib bagi warga muslim, sementara jizyah hanya wajib
bagi warga non-Muslim. Namun, secara umum, mereka mendapatkan jaminan kemanan,
perlindungan dan pelayanan yang sama dengan warga lain, yang beragama Islam.
Harta dan darah mereka terjaga sebagaimana terjaganya darah dan harta kaum
Muslim. Bahkan Rasulullah saw menyatakan dalam banyak hadis, bahwa siapa
menyakiti warga dzimmi tak ubahnya menyakiti Rasulullah saw. dan tak
akan pernah mencium baunya surga. Diriwayatkan Al-Khathib dari Ibnu Mas’ud,
bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: “Siapa
saja yang menyakiti dzimmi maka aku berperkara dengan dia. Siapa saja yang
berperkara dengan aku, maka aku akan memperkarakan dia pada Hari Kiamat”
(As-Suyuthi, Al-Jâmi‘ ash-Shaghîr).
Sebenarnya tentang kemampuan Islam dalam mengayomi
warga negaranya, termasuk kepada ahlu
dzimmah, sungguh tidak perlu diragukan lagi. Siapa saja yang meragukan
kemampuan Islam, sebetulnya saja meragukan Islam itu sendiri.
Bahkan, jika dilihat secara historis, saat syariah
Islam diterapkan secara kaffah, warga ahlu
dzimmah mendapatkan keamanan dan pelayanan yang baik dari Khilafah Islam.
Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Dr. William Draper, seorang sejarawan American English dan seorang
saintis menyampaikan “During the period
of the Caliphs the learned men of the Christians and the Jews were not only
held in great esteem but were appointed to posts of great responsibility, and
were promoted to the high ranking job in the government....He (Caliph Haroon
Rasheed) never considered to which country a learned person belonged nor his
faith and belief, but only his excellence in the field of learning.” (Selama masa kekhilafahan, orang-orang
terdidik dari kalangan Kristen dan Yahudi, tidak hanya mendapatkan penghargaan
besar, tetapi juga ditunjuk untuk menempati pos-pos dengan tanggung jawab yang
besar dan dipromosikan untuk menempati posisi pekerjaan kelas atas dalam
pemerintahan... Dia (Khalifah Harun Arrosyid) tidak pernah melihat asal
kebangsaan mereka, juga keimanan dan kepercayaan mereka, tetapi hanya melihat
keistimewaan mereka dalam bidang keilmuan). Hal ini telah saya dibahas pada
tulisan-tulisan yang lain.
Jadi, syariah
Islam tidak akan mendzalimi mereka, apalagi membantai mereka. Tetapi
sebaliknya, mereka justru akan mendapatkan keamanan dan pelayanan yang
seharusnya. Itu terjadi, bukan karena agar umat Islam dianggap sebagai orang
yang toleran, tetapi, memang begitulah ajaran Islam. Itulah syariah Islam yang
memang membawa keadilan, dalam arti yang sebenar-benarnya. Namun, jika mereka
melanggar aturan, mereka akan mendapatakan sanksi, sebagaimana hukum syariah
yang berlaku.
Dengan demikian, Islam dan umatnya tidak perlu
diajari tentang toleransi dari para pendeta atau para filusuf barat. Mereka
itulah yang seharusnya belajar dari Islam. Islam telah menjelaskan hal ini
dengan sangat detil, sehingga semestinya umat Islam tidak perlu bingung,
apalagi sampai kebablasan dalam urusan toleransi ini.
Dari berbagai fakta menunjukkan, bahwa non-Muslim
akan dilindungi dan dilayani dalam Khilafah yang menerapkan syariah, tetapi
sebaliknya saat syariah tidak diterapkan dalam bingkai syariah, baik Muslim
maupun non-Muslim, tidak mendapatkan pelayanan yang semestinya dari
penguasanya. Contoh paling sederhana adalah fakta di Indonesia saat ini. Dalam
sistem kapitalisme, yang dilayani hanya pejabat dan orang-orang kaya yang
memiliki uang banyak. Tetapi jangan tanyakan tentang pelayanan kepada rakyat
biasa, baik ia muslim atau non-muslim.... Mereka kalau perlu diusir, karena
dianggap membebani APBN saja, sebab sukanya minta subsidi....
Kemudian tentang larangan sewenang-wenang, itu
memang ajaran Islam yang lurus. Kita, umat Islam memang dilarang berprilaku
sewenang-wenang, kepada siapa pun. Bahkan kepada hewan pun, kita tidak boleh
sewenag-wenang. Rasulullah saw.
menyampaikan riwayat al-Imam al-Hakim, “Siapa yang dengan sewenang-wenang membunuh
burung, atau hewan lain yang lebih kecil darinya, maka Allah akan meminta
pertanggungjawaban kepadanya”. Memang benar, bahwa burung tersebut
mempunyai hak untuk disembelih dan dimakan, bukan dibunuh dan dilempar. Tetapi,
hadits ini sekali lagi bukan menjadi dalil atau argumentasi, tidak perlunya
penerapan syariah Islam dalam bingkai Khilafah.
Kemudian
tentang permasalahan potensi konflik saat Islam diterapkan, itu masalah lain.
Manusia itu memang berpotensi untuk konflik, karena berbagai hal, baik urusan
makanan, wanita, jabatan, dan semua hal yang lain. Oleh karena itu, jangan
hanya permasalahan syariah yang dianggap berpotensi konflik. Perang dunia I dan
perang dunia II yang membawa korban puluhan juta umat manusia, apakah karena
penerapan syariah Islam? Dijatuhkannya bom nuklir oleh Amerika di Jepang,
apakah karena penerapan syariah Islam? Serangan Amerika ke Irak dan Afganistan,
apakah karena syariah Islam? Jika kita jujur, semua konflik yang berdampak pada
kehancuran itu disebabkan karena nafsu manusia, yang tentu saja karena mereka tidak
mau tunduk dengan Islam dan syariahnya.
Di
Indonesia sendiri, konflik yang terjadi di Papua, di Timor Timur (sebelum lepas
dari Indonesia), di Aceh, dan di berbagai tempat, apakah karena penerapan
syariah Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan berbegara? Semua konflik yang ada
tersebut terjadi justru saat Indonesia menganut demokrasi dan liberalisme. Semua
konflik yang ada justru karena berbagai permasalahan yang seharusnya tidak
perlu, jika mereka paham syariah dan mau menerapkan syariah.
Konflik
itu memang sangat mungkin terjadi di mana pun, justru Islam dengan syariahnya
datang dalam rangka menghilangkan atau meminimalisasi konflik-konflik yang
tidak seharusnya terjadi. Lihatlah, kota Madinah yang selama beratur-ratus
tahun dilanda konflik, namun konflik itu berubah menjadi persatuan saat
diterapkan Islam oleh Rasulullah saw.
Karena
itu, syariah dan Khilafah ini memang harus dijelaskan secara detil dan gamblang
kepada semua masyarakat, baik muslim maupun non-muslim. Jika, mereka tidak
paham, sangat mungkin penerapan syariah akan menjadi permasalahan. Tetapi, jika
mereka paham tentang keadilan Islam, Insya Allah mereka bisa menerima
sebagaimana penerimaan warga Kristen Palestina, saat di dakwahi oleh umat Islam
pada zaman Umar bin Khattab.
Meski
demikian, pasti tetap saja ada pihak-pihak yang sudah paham, tetapi tetap
menolak dan menghalangi penerapan syariah. Namun seiring dengan pemahaman
masyarakat tentang Islam dan syariahnya yang agung, orang-orang seperti ini
biasanya akan semakin kehilangan pengaruh di masyarakat, sebagaimana Abdullah
bin Ubay di zaman Rasulullah saw. dahulu.
Jadi,
memahamakan masyarakat tentang syariah dan Khilafah, memang membutuhkan proses
dan proses inilah yang dinamakan dakwah.
*****
Dari
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam memang ajaran Allah swt. yang
akan menebarkan rahmat bagi seluruh alam. Karena itu, Islam harus diterapkan
dengan benar dalam segala aspek kehidupan, baik dalam kehidupan pribadi,
keluarga, masyarakat dan negara. Penerapan Islam secara totalitas ini, insya Allah akan membawa rahmat, dalam
wujud kesejahteraan, keamanan, ketentraman, dan keharmonisan. Semua warga
negara, baik muslim maupun non-Muslim akan merasakan rahmat itu di dunia.
Namun, di akhirat nanti, manusia akan mempertanggung-jawabkan keputusan dan
amal yang mereka perbuat di dunia. Seorang muslim yang beramal sholih akan
mendapatkan jannah, sementara orang-orang kafir akan mendapatkan adzab Allah swt.
yang sangat pedih.
Islam
sebagai rahmat bagi seluruh alam ini, sama sekali tidak bisa dipahami bahwa
Islam tidak perlu diterapkan. Justru sebaliknya, kerahmatan Islam akan
terealisasi dengan penerapan Islam secara kaffah dalam Khilafah Islamiyah.
Menginginkan
kerahmatan Islam, tetapi menolak penerapan syariahnya, itu tak ubahnya seperti
menginginkan kecerdasan tetapi menolak untuk belajar.
Wallahu a’lam.
EmoticonEmoticon