Petunjuk Al-Qur’an: Tiada Kemuliaan Kecuali dengan Islam



Oleh Irfan Abu Naveed

Islam adalah ajaran yang mulia dan memuliakan manusia yang memeluknya. Dan tegaknya Din Islam di Bumi ini merupakan rahmat bagi semesta Alam. Allah ’Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
”Tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 107)

Berkaitan dengan ayat di atas, asy-Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi menafsirkan:
أي وما أرسلناك يا أشرف الخلق بالشرائع، إلاّ رحمة للعالمين
“Yakni tidaklah Allâh mengutus dirimu wahai sebaik-baiknya makhluk ciptaan (Nabi Muhammad shallallaahu ’alayhi wa sallam) dengan membawa berbagai peraturan (syari’ah islamiyyah) melainkan merupakan rahmat bagi seluruh alam.”[1]
Allah berfirman:
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
 “Dan apabila dibacakan Al-Qur’ân, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A’râf [7]: 204)

Menafsirkan ayat ini, Imam Abu Ja’far al-Thabariy menuturkan:
يقول تعالى ذكره للمؤمنين به، المصدقين بكتابه، الذين القرآنُ لهم هدى ورحمة:(إذا قرئ)، عليكم، أيها المؤمنون، (القرآن فاستمعوا له)، يقول: أصغوا له سمعكم، لتتفهموا آياته، وتعتبروا بمواعظه (وأنصتوا) إليه لتعقلوه وتتدبروه … (لعلكم ترحمون)، يقول: ليرحمكم ربكم باتعاظكم بمواعظه، واعتباركم بعبره، واستعمالكم ما بينه لكم ربكم من فرائضه في آياته.
“Allah SWT berfirman untuk memperingatkan orang-orang beriman, yakni orang-orang yang membenarkan kitab-Nya, yakni al-Qur’an yang menjadi petunjuk dan rahmat bagi mereka: (jika dibacakan (al-Qur’an)) terhadap kalian wahai orang-orang yang beriman (maka dengarkanlah) yakni dengarkan dengan pendengaran kalian agar memahami ayat-ayat-Nya dan mengambil pelajaran dari petunjuk-petunjuk-Nya, (dan perhatikanlah) untuk memikirkan dan mentadaburinya (agar kalian mendapat rahmat) agar Allah merahmati kalian dengan mengikuti petunjuk-petunjuk-Nya, mempelajari ajaran-ajaran-Nya, dan menjalankan berbagai kewajiban yang dijelaskan-Nya terhadap kalian dalam ayat-ayat-Nya.”[2]
Imam al-Alusiy menafsirkan frase (لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ):
أي لكي تفوزوا بالرحمة التي هي أقصى ثمراته.
“Yakni agar kalian meraih kemenangan dengan adanya rahmat Allah yang merupakan anugerah-Nya yang paling luhur.”[3]
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا
 “Dan Kami turunkan Al-Qur’an yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al-Israa’ [17] : 82)
Imam Ibn Qayyim menjelaskan:
والأظهر أن “من” هنا لبيان الجنس فالقرآن جميعه شفاء ورحمة للمؤمنين
“Dan sudah jelas bahwa lafazh min dalam ayat ini untuk menjelaskan jenis, artinya seluruh ayat-ayat al-Qur’an merupakan penawar dan rahmat bagi orang-orang beriman.”[4]
Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad al-Sadhan mengatakan:
وانظر إلى كلمة شفاء، ولم يقل دواء لأنها نتيجة ظاهرة، أما الدواء فيحتمل أن يشفي وقد لا يشفي
“Dan lihatlah kata syifaa’ (penawar), Allah tidak mengatakan dawaa’ (obat) karena kata syifaa’ ini mendatangkan hasil yang jelas/nyata. Adapun ad-dawaa’ (obat) adakalanya menyembuhkan dan terkadang tidak.”

Para ulama pun menjelaskan:
(من) هنا بيانية فالقرآن كله شفاء ودواء لكل داء فمن آمن به وأحلَّ حلاله وحرّم حرامه انتفع به انتفاعا كبيرا، ومن صَدَقَ الله في قصده وإرادته شفاه الله تعالى وعافاه من دائه
“Kata min dalam ayat ini sebagai penjelasan, maka al-Qur’an seluruh ayat-ayatnya merupakan penawar dan obat bagi segala penyakit. Barangsiapa mengimani al-Qur’an, menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan-Nya maka ia meraih manfaat yang besar dari al-Qur’an. Dan barangsiapa membenarkan Allah, mencakup tujuan dan kehendak hidupnya, maka Allah akan menyembuhkan dan mengampuninya dari segala penyakit.”
Allah pun berfirman:
قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ
”Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang beriman.” (QS. Fushshilat [41]: 44)
Syaikh ‘Abdurrahman al-Sa’di mengungkapkan:
أي يهديهم لطريق الرشد، والصراط المستقيم، ويعلمهم من العلوم النافعة ما به تحصل الهداية التامة. وشفاء لهم من الأسقام البدنية، والأسقام القلبية، لأنه يزجر عن مساوئ الأخلاق، وأقبح الأعمال، ويحث على التوبة النصوح، التي تغسل الذنوب، وتشفي القلب.” (تيسير الكريم الرحمن – ٤٠٣/٤)
“Yakni: Allah membimbing mereka ke jalan petunjuk dan jalan yang lurus, Allah pun mengajari mereka ilmu-ilmu bermanfaat yang mengantarkan kepada petunjuk yang sempurna. Serta sebagai obat penawar bagi berbagai penyakit badan dan penyakit hati yang menimpa mereka, karena al-Qur’an melarang akhlak dan amal perbuatan yang buruk, disamping mendorong manusia untuk bertaubat sungguh-sungguh, yang mencuci dosa-dosa dan menjadi penawar qalbu.”

Syari’at Islam pasti mengandung kemaslahatan, para ulama pun menegaskannya dengan menyusun kaidah ushûl al-fiqh bahwa:
حَيْثُمَا يَكُوْنُ الشَّرْعُ تَكُوْنُ اْلمَصْلَحَةُ
“Jika hukum syara’ diterapkan, maka pasti akan ada kemaslahatan.”[5]
Dan sikap takwa berpegang teguh pada ajaran Islam, merupakan kebaikan hakiki. Al-‘Alim al-Syaikh ‘Atha’ bin Khalil ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 183, mendefinisikan takwa:
التقوى خشية الله وطاعته والاستعداد للقائه سبحانه كما عرفها بعض الصحابة: الخوف من الجليل والعمل بالتنزيل والاستعداد ليوم الرحيل.
“Takwa adalah rasa takut kepada Allah, menta’atinya dan mempersiapkan bekal untuk berjumpa dengan-Nya, sebagaimana dipahami sebagian sahabat: (takwa) yakni takut kepada Yang Maha Mulia, beramal dengan apa yang diturunkan (al-Qur’an) dan mempersiapkan bekal untuk hari akhir.”

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
“Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allâh, Kami akan memberikan kepadamu Furqân. Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allâh mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Anfâl [8]: 29)
Standar Pasti Kebaikan & Keburukan
Imam Taqiyuddin al-Nabhani menegaskan:
أن الخير في نظر المسلم ما أرضى الله والشر هو ما أسخطه
“Bahwa predikat baik (al-khayr) dalam penilaian seorang muslim adalah sesuatu yang diridhai Allâh, sedangkan buruk (al-syarr) adalah sesuatu yang dimurkai-Nya.”[6]

Dan bisa jadi apa yang kita pandang baik hakikatnya buruk di sisi Allah, dan sebaliknya, apa yang kita pandang buruk hakikatnya baik di sisi-Nya. Allah SWT berfirman:
وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Bisa jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216)

Syaikh ‘Abdul Hamid al-Ju’bah menuturkan:
الإنسان عاجز و ناقص و محتاج إلى من أوجده ، و إدراك الإنسان هذه الحقيقة يكفي  لجعله يسلّم أموره كلها للخالق المدبر ، فلا يقوم بأي فعل إلا بعد معرفة حكم الله فيه ، فيقوم به مطمئناً و متيقناً بأنه الحكم المناسب، و هو الأصلح لحياته ، حتى لو زيّن له الشيطان غير ذلك
“Manusia adalah makhluk lemah, memiliki kekurangan, dan membutuhkan kepada yang menciptakannya, dan kesadaran manusia terhadap hakikat ini sudah cukup menjadi alasan baginya untuk menyerahkan segala urusannya kepada Sang Pencipta Yang Maha Mengatur, maka sudah semestinya manusia tidak melakukan suatu perbuatan kecuali setelah mengetahui hukum Allah atas perbuatan tersebut, ia melaksanakannya dengan tentram dan yakin bahwa hukum ini hukum yang benar, dan sesuai untuk kehidupannya, meski syaithan menimbulkan tipu daya kebalikan dari itu semua.”[7]
Lalu, Syaikh ‘Abdul Hamid menukil dalil:
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ ۚ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
 “Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf [12]: 40)
Syaikh ‘Abdul Hamid menjelaskan lebih jauh:
إننا ندرك إدراكاً قطعياً أن المصلحة الحقيقية هي في اتباع شرع الله و لو تعارض مع مصالحنا و أهوائنا و رغباتنا ، و هو ما يستلزمه الإيمان
“Sesungguhnya kita menyadari dengan kesadaran yang pasti bahwa kemaslahatan hakiki ada dalam sikap mengikuti syari’at Allah meski tidak sejalan dengan kemauan, hawa nafsu dan kecendrungan kita, dan inilah tuntutan keimanan.”
 
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
 “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. Al-Nisaa’ [4]: 65)

Syaikh Prof. Dr. Muhammad Amhazun menuturkan:
إن تحكيم الشريعة الإسلامية استجابة لله تعالى ولرسوله أمر واجب كل الوجوب، إذ فيه الحياة والخير والصلاح
“Sesungguhnya berhukum dengan syari’at Islam merupakan pemenuhan terhadap tuntutan Allah dan Rasul-Nya di antara kewajiban paling penting dari kewajiban-kewajiban yang ada, ketika didalam kewajiban ini terkandung kehidupan, kebaikan dan kebenaran.”[8]
Berdasarkan dalil:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
 “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.”  (QS. Al-Anfaal [8]: 24)

Sebaliknya, bagi kaum yang berpaling dari syari’at Allah dan menggantinya dengan hukum thaghut. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Amhazun menegaskan:
ولا شك أن تنحية شرع الله وعدم التحاكم إليه في شؤون الحياة ، من أخطر وأبرز مظاهر الانحراف في مجتمعات المسلمين، وكانت عواقب الحكم بغير ما أنزل الله في بلادهم ما حل بهم من أنواع الفساد والشرور والبغي والظلم والذل ومحق البركة.
“Dan tidak ada keraguan bahwa berpaling dari syari’at Allah dan tidak berhukum dengannya dalam kehidupan, merupakan hal yang paling berbahaya dan paling jelas penyimpangannya bagi masyarakat kaum muslimin, dan berhukum dengan selain hukum Allah di negeri-negeri kaum muslimin mengakibatkan berbagai kerusakan, keburukan, penindasan, kezhaliman, kehinaan dan menghilangkan keberkahan hidup.”

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ
”Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan buta.” (QS. Thaahaa [20]: 124)
Allah pun mengancam siapa saja yang mengambil ajaran di luar Islam sebagai pedoman hidupnya:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
”Barangsiapa mencari Din selain Islam, maka sekali-kali tidaklah diterima (Din itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran [3]: 85)

Ingat ‘Umar bin al-Khaththab –rahimahullaah– pun menegaskan:
نَحْنُ قَوْمٌ أَعَزَّنَا اللهُ بِاْلإِسْلاَمِ ، وَمَتىَ ابْتَغَيْنَا اْلعِزَّ بِغَيْرِ دِيْنِ اللهِ أَذَلَّنَا اللهُ
“Kami adalah kaum yang telah dimuliakan oleh Allâh dengan Islam, sehingga kapan saja kami mencari kemuliaan dengan selain agama Allâh, maka Allâh menghinakan kami.”[9]

Ironisnya jika seorang muslim lebih bangga dengan ajaran di luar Islam (semisal Demokrasi), ini adalah bencana bagi kehidupannya. dengan Tentu kita berlindung kepada Allah ‘Azza wa Jalla dari sifat yang dituturkan al-Hafizh Ibn ‘Abd al-Bar al-Andalusi dalam sya’irnya:
أأخي إن من الرجال بهيمة                        في صورة الرجل السميع المبصر
فطن لكل مصيبة في مالــه                          وإذا يصاب بدينه لم يشعــر
“Wahai saudaraku, diantara manusia ada yang bersifat bagaikan binatang”
“Dalam bentuk seseorang yang mampu mendengar dan berwawasan”
“Terasa berat baginya jika musibah menimpa harta bendanya”
“Namun jika musibah menimpa agamanya, tiada terasa”[10]

[1] Tafsîr Munîr (Tafsir Marah Labid (II/47)).
[2] Lihat: Jaami’ al-Bayaan fii Ta’wiil al-Qur’aan, Imam Abu Ja’far al-Thabariy – al-Maktabah al-Syamilah.
[3] Lihat: Ruuh al-Ma’aaniy fii Tafsiir al-Qur’aan al-‘Azhiim wa al-Sab’u al-Matsaaniy, Syihabuddin Mahmud ibn ‘Abdullah al-Husayniy al-Alusiy – al-Maktabah al-Syamilah.
[4] Lihat: Ighaatsatul Lahfan (1/24)
[5] Lihat: Al-Fikr (hlm. 41-43), Syaikh Muhammad Isma’il.
[6] Lihat: Mafâhîm Hizb al-Tahrîr, Imam Taqiyuddin al-Nabhani.
[7] Lihat: Al-Ahzaab fii Al-Islaam, Syaikh ‘Abdul Hamid al-Ju’bah – Risaalah Maajistiir
[8] Lihat: Thaaghuut Al-‘Ashr, Syaikh Prof. Dr. Muhammad Amhazun dalam Majalah Al-Bayaan, No. 303.
[9] HR. al-Thabari dalam tafsirnya 13/478.
[10]Lihat: Bahjatul-Majâlis wa Unsul-Majâlis (I/169).


EmoticonEmoticon